DESKRIPSI AGAMA DALAM KAJIAN ILMIAH /SOSIOLOGI AGAMA/III



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Agama di era modern tidak hanya berfungsi sebagai pedoman hidup untuk mencapai, ketenteraman batin dan kehidupan yang abadi. Lambat laun agama memiliki porsi yang cukup besar dalam membentuk norma-norma yang dianut masyarakat, membentuk struktur sosial, yang diwariskan turun temurun. Keberlangsungan aktivitas sosial tidak terlepas dari agama itu sendiri, secara tidak langsung agama menjadi unsur terbentuknya identitas suatu kelompok masyarakat.
Disiplin ilmu sosiologi agama difokuskan untuk menggali lebih dalam tentang peran agama dalam kehidupan bermasyarakat. Sosiologi agama bukan meneliti kebenaran ajaran agama itu sendiri, tetapi mengukur fakta melalui data-data yang empiris dan dapat diuji. Sejauh mana pengaruh agama mendoktrinisasi antar individu dengan individu lainnya sehingga terbentuklah masyarakat yang tumbuh mengikuti norma-norma sosial yang disepakati bersama.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa deskripsi agama dalam kajian ilmiah?
2.      Bagaimana sejarah terbentuknya disiplin ilmu sosiologi agama?
3.      Apa titik temu antara sosiologi dan agama?

C.    Tujuan Masalah
1.      Mengetahui deskripsi agama dalam kajian ilmiah
2.      Memahami sejarah terbentuknya disiplin ilmu sosiologi agama
3.      Mengetahui titik temu antara sosiologi dan agama


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Deskripsi Agama Dalam Kajian Ilmiah
Menurut para ahli sosiologi agama, kata agama ditemukan dalam bahasa Bali yaitu igama menunjukkan hubungan manusia dengan dewa-dewa dan agama memberikan penjelasan hubungan manusia dengan sesamanya. Pengertian ini memiliki arti bahwa agama mengandung pengertian sebagai peraturan, tata cara upacara-upacara dalam konteks hubungan rakyat dengan raja.
Ada pula yang berpendapat bahwa agama dalam bahasa Sansekerta berarti kitab suci. Pengertian ini tentu didasarkan bahwa kebanyakan ajaran agama termuat dalam kitab suci. Pendapat lain mengungkap bahwa kata-kata agama berasal dari kata gam yang berate tuntutan.[1]
Pengertian menurut bahasa tidak selalu sama dengan arti yang dipahami dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian agama dalam kehidupan sehari-hari pun juga beragam. Hal tersebut dikarenakan beragamnya sudut pandang dan persepsi manusia yang menganutnya. Dalam agama ada keyakinan, ajaran tentang tingkah laku, ajaran tentang beribadat, ajaran tentang alam gaib dan lain-lain. Ada yang berpendapat sebagai pembeda antara yang baik dan buruk. Ada pula yang berpendapat untuk mendapatkan ketenangan jiwa.
Pengertian secara terminology akan berbeda pula sejalan dengan perbedaan pandangan objek pembahasan dari setiap bidang ilmu. Maka sosiologi akan mendefinisikan agama sebagai fenomena sosial, antropologi akan mendefinisikannya sebagai fenomena budaya, sejarah akan mendefinisikan historis yang berubah dari periode ke periode.[2] Pengertian dan definisi agama secara sosiologis melihat agama dalam kehidupan manusianya. [3]
Dalam kajian ilmiah, agama didefinisikan oleh Keith A, Roberts menjadi 3 macam:[4]
1.      Definisi Substansif
Dalam hal ini, definisi agama dinilai dari segi substansi dan
essensinya. Emile Durkheim (1951) mendefinisikan kesucian dan perubahan sikap merupakan syarat bagi seseorang sebelum ia memasuki ritual keagamaan. Pengakuan adanya dunia sakral dan profan memberikan peluang kepada kita untuk mengidentifikasi agama dalam suatu kebudayaan. Lebih jelasnya menurut Durkheim agama merupakan kesatuan sistem kepercayaan dan pengalaman terhadap sesuatu yang sakral , berbeda dengan yang lain. Kedua poin tersebut (kepercayaan dan pengalaman) menyatu dalam komunitas moral yang disebut gereja dan semua taat kepadanya.[5]
2.      Definisi Fungsional
Yakni definisi yang mengedepankan fungsi sebagai kriteria untuk
mengidentifikasi atau mengklasifikasi suatu fenomena. Definisi ini diambil mengenai seberapa besar fungsi yang diperankan oleh “objek penelitian”. Milton Yinger menyajikan definisi agama yang dikategorikan sebagai definisi fungsional, dia berpendapat bahwa persoalan agama bukan mengenai essensi agama tersebut tetapi apa yang diperankan oleh agama. Artinya, agama adalah fenomena sosial yang mempunyai aspek signifikan hanya dalam kelompok. Pola makna secara probadi bisa jadi mengandung nilai agama, tetapi bukan agama dalam aspek sosiologi.
3.      Definisi Simbolik
Simbol adalah benda yang menggambarkan atau menandakan ingatanseseorang tentang sesuatu. Dalam arti sosiologi, definisi simbolik mengenai agama adalah seperangkat kegiatan manusia yang terorganisir oleh sesuatu yang dianggap sakral, suci yang menggarap persoalan kepercayaan, ritual, kode etik, dan organisasi sosial.

B.     Sejarah Sosiologi Agama
Sosiologi agama sebagai disiplin ilmu yang telah berdiri sendiri, sebenarnya
merupakan cabang dari Ilmu Sosiologi yang telah dirumuskan oleh Bapak Sosiologi yakni Aguste Comte (1798-1857). Hasil daripada perkembangan Ilmu Pengetahuan yang telah terbentuk lebih dulu. Tetapi sejarah telah mencatat tepatnya pada kemajuan peradaban  umat islam berabad-abad silam, atau disebut golden age, ilmu sosiologi sebenarnya telah dirintis oleh ulama muslim yakni Abdurrahman Ibnu Khaldun  (1334-1406) dalam kitabnya Muqaddimah. Analisis Ibnu Khaldun mengangkat tema keruntuhan peradaban islam bangsa Spanyol-Afrika Utara. Begitupun Ibnu Jarir Ath-Thabari dalam kitabnya Tarikh Al-Umam Wa Al-Muluk  yang mengidentifikasikan sejarah perkembangan masyarakat beserta kepemimpinan islam di era lampau. [6]
Sebenarnya lahirnya Sosiologi Agama sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri, bermula dari dua unsur pembentuknya yakni studi agama dan studi sosial. Secara struktural ilmu sosiologi disini sebagai alat bantu atau pendekatan dalam menelaah studi agama, mengembangkan studi agama agar lebih kompleks dan tidak hanya terpusat pada ajarannya saja. Tetapi lama kelamaan, Sosiologi Agama bukan lagi mengekor dengan studi sosiologi atau studi agama, tetapi menjadi disiplin ilmu yang mandiri. Meskipun metodologi dan perkembangan studinya sama dengan Ilmu Sosiologi. Hampir semua tokoh sosiologi tidak terlepas dari fenomena agama yang digelutinya Aguste Comte (1798-1857), Emile Durkheim (1858-1917), Max Weber (1864-1920) Herbert Spencer (1820-1903)[7].
Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru muncul sekitar tahun 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 terbitlah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Prancis (1858-1917) dan Max Webber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.[8]

C.    Titik Temu Sosiologi Dan Agama
Agama dalam format sosial merupakan simbol yang mengimplementasikan tentang fenomena-fenomena yang terjalin dalam masyarakat. Fenomena sosial inilah inti dari bertemunya soisologi dan agama. Para ahli sosiologi memusatkan penelitiannya pada data empirik yang dapat diverifikasi kebenarannya mengenai perilaku, terutama perilaku kelompok dan struktur sosial.[9] Sedangkan peran agama disini membentuk kaidah-kaidah yang dianut oleh masyarakat, sehingga agama menjadi unsur terciptanya struktur sosial dalam kehidupan masyarakat.
Menurut Parsons[10], agama merupakan titik artikulasi antara sistem kultural dan sosial. Nilai-nilai dari sistem budaya terpintal dalam sistem sosial, yang turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Kesimpulannya, agama adalah sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem kepribadian individu.
Pada hakikatnya, sosiologi agama mengarahkan tentang kedudukan agama dalam proses interaksi sosial. Agama didoktrin sebagai fakta sosial, atau gejala-gejala yang memiliki pengaruh besar dalam interaksi sosial. Melalui sosiologi, karakteristik penelitian terbagi dua:[11]
1.      Agama melalui bukti empiris, semisal mengamati proses , struktur dan perubahan-perubahan masyarakat yang tidak lepas dari agama
2.      Memahami agama dengan obyektif, melihat dengan kacamata luas, yakni tidak terdoktrin seputar ajaran atau seperangkat keyakinan semata. terlebih mengenai aspek aspek eksternal, bukan internal.











BAB II
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Dalam kajian ilmiah, agama didefinisikan oleh Keith A, Roberts menjadi 3 macam:
a.       Definisi Substansif, dalam hal ini, definisi agama dinilai dari segi substansi dan essensinya.
b.      Definisi Fungsional, yakni definisi yang mengedepankan fungsi sebagai kriteria untuk mengidentifikasi atau mengklasifikasi suatu fenomena
c.       Definisi Simbolik, Simbol adalah benda yang menggambarkan atau menandakan ingatanseseorang tentang sesuatu
2.      Sosiologi agama sebagai disiplin ilmu yang telah berdiri sendiri, sebenarnya merupakan cabang dari Ilmu Sosiologi yang telah dirumuskan oleh Bapak Sosiologi yakni Aguste Comte (1798-1857).
Namun pengkajian masalah agama secara ilmiah dan terbina baru muncul sekitar tahun 1900. Mulai saat itu hingga menjelang 1950 terbitlah buku-buku sosiologi agama yang sering disebut dengan nama sosiologi agama klasik. Periode klasik ini terutama dikuasai oleh dua orang sosiolog yang terkenal yaitu Emile Durkheim dari Prancis (1858-1917) dan Max Webber dari Jerman (1864-1920). Dua sarjana tersebut lazim dipandang sebagai pendiri sosiologi agama.
3.      Menurut Parsons, agama merupakan titik artikulasi antara sistem kultural dan sosial. Nilai-nilai dari sistem budaya terpintal dalam sistem sosial, yang turun temurun dari generasi ke generasi berikutnya. Kesimpulannya, agama adalah sarana internalisasi nilai budaya yang terdapat di masyarakat kepada sistem kepribadian individu.
Pada hakikatnya, sosiologi agama mengarahkan tentang kedudukan agama dalam proses interaksi sosial. Agama didoktrin sebagai fakta sosial, atau gejala-gejala yang memiliki pengaruh besar dalam interaksi sosial. Melalui sosiologi, karakteristik penelitian agama terbagi dua:
a.       Agama melalui bukti empiris, semisal mengamati proses , struktur dan perubahan-perubahan masyarakat yang tidak lepas dari agama
b.      Memahami agama dengan obyektif, melihat dengan kacamata luas, yakni tidak terdoktrin seputar ajaran atau seperangkat keyakinan semata. terlebih mengenai aspek aspek eksternal, bukan internal.
























DAFTAR PUSTAKA
Ismail, Muchammad dan Taufiq, Amal dkk, Pengantar Sosiologi IAIN Sunan Ampel Press, 2013 Surabaya.
Djamari, Agama Dalam Prespektif Sosiologi , CV. ALFABETA, 1993, Bandung.
Soehadha, Moh, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif), Penerbit TERAS, 2008 Yogyakarta
https://id.wikipedia.org/wiki/Talcott_Parsons






[1] Muchammad Ismail, Amal Taufiq dkk, Pengantar Sosiologi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press), 2013, hlm. 190.
[2] Muchammad Ismail, Amal Taufiq dkk, Pengantar Sosiologi, (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press), 2013, hlm. 191.
[3] Ibid, 192
[4] Djamari, Agama Dalam Prespektif Sosiologi (Bandung: CV. ALFABETA), 1993, hlm.13-19
[5] Ibid, hal 13-19
[6] Moh. Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif),(Yogyakarta: Penerbit TERAS), 2008,
hlm.4
[7] Ibid, hal.7
[8] https://arief.hidayat.wordpress.com/2009/04/01/sosiologi-agama/
[9] Djamari, Agama Dalam Prespektif Sosiologi (Bandung: CV. ALFABETA), 1993, hlm.2
[10] Talcott Parsons adalah seorang sosiolog yang lahir pada tahun 1902. sosiolog kontemporer dari Amerika yang menggunakan pendekatan fungsional, pedekatannya dipengaruhi oleh pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber.
[11] Moh. Soehadha, Metodologi Penelitian Sosiologi Agama (Kualitatif),(Yogyakarta: Penerbit TERAS), 2008, hlm. 50

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI-TEORI SOSIOLOGI AGAMA/SOSIOLOGI AGAMA/III

METODE TAHLILI (ANALIST) / Syarah Hadis/ III

HUBUNGAN FILOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAIN