METODE, METODOLOGI DAN SYARH/ Syarah Hadis/ III
METODE,
METODOLOGI DAN SYARH
Kata Pengantar
Puji
Syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat sehingga makalah ini
dapat tersusun hingga selesai.Tidak lupa kami juga mengucapkan banyak terima
kasih atas bantuan dari pihak yang telah berkotribusi dengan Memberikan
Sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan
harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan Pengetahuan maupun Pengalaman kami yakin masih banyak kekurangan dalam
makalah ini oleh karena itu kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Jombang ,20 September 2018
Penyusun
MOTTO
Berusahalah
Jangan Sampai Terlengah Walau Sedetik Saja, Karena Atas Kelengahan Kita Tak
akan Bisa Dikembalikan Seperti Semula
Jangan Tunda
Sampai Besok Apa Yang Bisa Engkau Kerjakan Hari Ini
Siapa Yang
Kalah Dengan Senyum Dialah Pemenangnya
Daftar Isi
Halaman Judul.....................................................................................................................
Kata Pengantar....................................................................................................................i
Motto..................................................................................................................................ii
Daftar Isi............................................................................................................................iii
A.PENDAHULUAN.........................................................................................................1
B.TINJAUAN HISTORIS PEMAHAMAN(SYARH) HADITS DAN
PENGERTIANNYA.......................................................................................................1
C. METODE-METODE PEMAHAMAN (SYARH) HADIS..............................................2
D. METODE KRITIK HADITS.........................................................................................7
E.
KESIMPULAN...............................................................................................................9
DAFTAR
PUSTAKA..........................................................................................................10
A.
PENDAHULUAN
Hadits merupakan salah satu sumber
pokok ajaran Islam. Sebab ia merupakanbayân (penjelas), terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih mujmal (global), ‘âm(umum)
dan yang mut}laq (tanpa batasan). Bahkan secara mandiri hadits dapat
berfungsi sebagai penetap (muqarrir) suatu hukum yang belum ditetapkan oleh Al-Qur’an.[1]Hadits
sebagai salah satu sumber ajaran Islam ini, tampaknya selalu menarik untuk
dikaji, baik yang menyangkut tentang kritik otentitas atau validitas (sanad danmatan) maupun metodologi pemahaman (syarh})
hadis itu sendiri.
Ulama dahulu telah banyak mencoba
melakukan pensyarahan atau pemahaman hadits yang terdapat dalam al-Kutub al-Sittah, yakni dengan menulis kitab syarah terhadap kitab tersebut..Meskipun demikian, upaya untuk menemukan metode yang
digunakan ulama dalam penyusunan kitab syarah hadits tersebut hampir-hampir
tidak pernah tersentuh. Namun dari beberapa metode yang dipergunakan oleh para
ulama dalam menyusunkitab syarh hadits, dapatdiklasifikasikbeberapa
metode pemahaman hadits,yakni metode tahlîlî, metode ijmâlî, metode muqârin dan metode maudhû’ii.
[2]Sementara dalam hal validitas hadits
karena jaraknya yang cukup lama dari wafat Rasulullah ke pentadwinan, maka
banyak kalangan yang mempertanyakan tentang otentitas, originalitas,
keakuratan, dan kebenaran hadits. Oleh karena itu, muncullah muncullah
ilmu-ilmu yang berfungsi untuk menyelidiki atau mengkritik validitas rawi, sanad, dan matan hadits.
Tulisan ini akan menyajikan dan membahas kedua hal tersebut,
yaitu metode pamahaman (syarh) dan kritik(naqd) atas hadits
B.
TINJAUAN HISTORIS PEMAHAMAN(SYARH)
HADITS DAN PENGERTIANNYA
1. Tinjauan
Historis Syarh Hadits
Penyarahan (syarh) atas hadits dimulai pada abad
ke IV Hijriyah. Masa ini disebut dengan ’ashr al-syarh
wa al-jam’i wa al-takhrîj wa al-bahts, yakni masa
penyarahan, pengumpulan, pentakhrijan dan pembahasan hadits.[3].Ulama
muhadditsin masa ini concern mempelajari, menghapal, memeriksa, menyelidiki,
mengumpulkan dan memberi komentar atau penjelasan terhadap hadits. Upaya ini
dilakukan untuk memelihara isi kandungan hadits dari maksud yang sebenarnya.
Dalam konteks yang terakhir inilah penulisan syarah hadits dilakukan. Di antara
kitab- kitab syarah hadits yaitu:
a. Syarh Shahih
al-Bukhari: Fath al-barri karya
al-Asqalani; al-’Umdah al-Qarii karya al-’Aini; Jami’ al-ushul karya
al-Jazairi, dan sebagainya.
b. Syarh Shahih Muslim: Minhaj al-Muhadditsin
karya al-Nawawi; al-Mufhim karya al-Qurthubi, al- Ikmal karya al-Qadhi ’Iyadh,
dan sebagainya.
2. Pengertian Metode, Metodologi, dan Syarh
Kata “metode” berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti
cara atau jalan.[4] Dalam bahasa
Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab
menerjemahkannya dengn tharîqat dan manhaj. Dalam bahasa
Indonesia, kata tersebut mengandung arti: cara teratur yang digunakan untuk
melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan.[5] Sedangkan
metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti
cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam
Kamus Besar Bahasa Indosesia diartikan sebagai ilmu tentang metode; uraian
tentang metode.[6]
3. Pemahaman (Syarh)
Kata syarah (Syarh} ) berasal dari
bahasa Arab, Syaraha-Yasyrahu-Syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan.[7] Istilah syarh: pemahamanbiasanya digunakan untuk
hadits, sedangkan tafsir untuk kajian Al-Qur’an. Dengan kata
lain, secara substansial keduanya sama (sama-sama menjelaskan maksud, arti atau
pesan); tetapi secara istilah, keduanya berbeda. Istilah tafsîr spesifik
bagi Al-Qur’an (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan ayat
Al-Qur’an), sedangkan istilah Syarh meliputi
hadits (menjelaskan maksud, arti, kandungan, atau pesan hadits) dan disiplin
ilmu lain.[8]Jadi
maksud dari metodologi pemahaman (syarh) hadits ialah ilmu
tentang metode memahami hadits. Dengan demikian, kita dapat membedakan antara
dua istilah, yakni metode syarh: cara-cara
memahami hadits, sementara metodologisyarh: ilmu tentang
caratersebut.Metode yang digunakan oleh pensyarahan hadits ada empat, yaitu metode tahlîlî, metode ijmâlî, metode muqârin dan metode maudhû’î. Adapun untuk
melihat kitab dari sisi bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuksyarh bi
al-ma`tsûr dan syarh bi al-ra’y. Sedangkan dalam
menganalisis corak kitab digunakan teori kategorisasi bentuk syarh fiqhy, falsafy,
sufy, atau lugawy.[9]
C. METODE-METODE
PEMAHAMAN (SYARH) HADIS
1. Metode Tahlîlî (Analitis)
a. Pengertian
Metode syarh tahlîlî adalah
menjelaskan hadis-hadis Nabi dengan memaparkan segala aspek yang terkandung
dalam hadis tersebut serta menerangkan makna-makna yang tercangkup di dalamnya
sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah. [10]
Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah
hadits mengikuti sistematika hadits sesuai dengan urutan hadits yang terdapat
dalam sebuah kitab hadits yang dikenal dari al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dari kalimat demi kalimat,
hadits demi hadits secara berurutan.Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek
yang dikandung hadits seperti kosa kata, konotasi kalimatnya, latar belakang
turunnya hadits (jika ditemukan), kaitannya dengan hadits lain, dan
pendapat-pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadits tersebut, baik yang
berasal dari sahabat, para tabi'in maupun para ulama hadits.[11]
Di antara kitab yang menggunakan metode tahlîlî ini adalah Fath al-Bâriy
bi syarh Shahîh al-Bukhâriy karya Ibn al-Fadl Ahmad ibn Ali ibn
Muhamad ibn Muhamad ibn Hajar al-’Atsqalâniy (772-852 H)
b. Ciri-ciri
Metode Syarh Tahlîlî
Secara umum
kitab-kitab syarah yang menggunakan metode syarh tahlîlîbiasanyaberbentuk ma'tsûr (riwayat)atau ra'y (pemikiranrasional).
Syarah yang
berbentuk ma'tsûr ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat
yang datang dari sahabat, tabi'in atau ulama hadis. Sementara syarah yang
berbentukra'y banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Kitab-kitab syarah yang menggunakan metode tahlîlî mempunyai
ciri-ciri sebagai berikut :
1)Pensyarahan yang dilakukan menggunakan pola menjelaskan
makna yang terkandung di dalam hadits secara komprehensif dan menyeluruh.
2) Dalam pensyarahan, hadits dijelaskan kata demi
kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan asbâb al- wurûd dari
hadits-hadits yang dipahami jika hadits tersebut memiliki asbâb
al-wurûdnya.
3) Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang
pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi' in dan para ahli syarah hadis
lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4) Di samping itu dijelaskan juga munâsabah (hubungan)
antara satu hadits dengan hadits lain.
5) Selain itu, kadang kala syarah dengan
metode ini diwamai kecenderungan pensyarah pada salah satu mazhab tertentu,
sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fiqhy dan corak lain
yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.[12]
c. Kelebihan dan
Kekurangan Metode Tahlîlî
Kelebihan
1) Ruang lingkup pembahasan yang sangat
luas.
Metode analitis dapat menyakup berbagai aspek: kata, frasa, kalimat, sabab al wurûd, munâsabah (munasabah
internal) dan lain sebagainya.
2) Memuat berbagai ide dan gagasan.
Memberikan kesempatan yang sangat longgar kepada pensyarah untuk menuangkan
ide-ide, gagasan-gagasan yang pernah dikemukakan oleh para ulama.
Kekurangan
1) Menjadikan petunjuk hadits parsial
Metode analitis menjadikan petunjuk hadits bersifat parsial atau
terpecah-pecah, sehingga seolah-olah hadits memberikan pedoman secara tidak
utuh dan tidak konsisten karena syarah yang diberikan pada hadits kurang
memperhatikan hadits lain yang mirip atau sama redaksinya dengannya.
2). Melahirkan syarah yang subyektif
Dalam metode analitis, pensyarah tidak sadar bahwa dia telah mensyarah
hadits secara subyektif, dan tidak mustahil pula ada di antara mereka yang
mensyarah hadis sesuai dengan kemauan pribadinya tanpa mengindahkan
kaidah-kaidah atau norma-norma yang berlaku.[13]
2. Metode Ijmâlî ( Global)
a. Pengertian
Metode ijmâlî (global) adalah
menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab
hadits yang ada dalam al-Kutub al-Sittah secara ringkas,
tapi dapat merepresentasikan ma’na literal hadis dengan bahasa yang mudah
dimengerti dan gampang dipahami. [14]
Di antara Kitab yang menggunakan metode ijmâlî ini
adalah ’Aun al-Ma’bud ’alâ Sunan Abi Dawûd karya
Muhamad Asyraf ibn Ali Haydar al-Shiddiqy al-Adhim Abady
(w. Abad ke-4 H).
1) Pensyarah langsung melakukan penjelasan
hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
2) Penjelasan umum dan sangat ringkas.
Pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat
sebanyak-banyaknya. Namun demikian, penjelasan terhadap hadits-hadits tertentu
juga diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode tahlîlî.
c. Kelebihan dan
Kekurangan
Kelebihan
1). Ringkas dan padat
Metode ini terasa lebih praktis dan singkat sehingga dapat segera diserap
oleh pembacanya. Syarah tidak bertele-tele, sanad dan kritik matan sangat
minim.
2). Bahasa Mudah
Pensyarah langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak
mengemukakan ide atau pendapatnya secara pribadi.
Kekurangan
1). Menjadikan petunjuk hadis bersifat
parsial
Metode ini tidak mendukung pemahaman hadits secara utuh dan dapat
menjadikan petunjuk hadits bersifat parsial tidak terkait satu dengan yang lain,
sehingga hadits yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan
hadits yang sifatnya rinci.
2). Tidak ada ruang untuk mengemukakan
analisis yang memadai.
Metode ini
tidak mnyediakan ruangan yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas
pemahaman suatu hadits.[16]
3. Metode Muqârin (komparatif)
a. Pengertian
Metode muqârin adalah metode
memahami hadis dengan cara membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama
atau mirip dalam kasus yang sama atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus
yang sama. Bisa
pula dengan membandingkan berbagai pendapat ulama dalam mensyarah hadits. (19
Jadi metode ini dalam memahami hadits tidak hanya
membandingkan badits dengan hadits lain, tetapi juga membandingkan pendapat
para ulama (pensyarah) dalam mensyarah hadits.
Diantara Kitab yang menggunakan metode muqârin ini adalah Shahih Muslim
bi Syarh al-Nawawi karya Imam Nawawi, dan Umdat al-Qâri
Syarh Shahîh al-Bukhari karya Badr al-Din al-’Aini.
b. Ciri-ciri Metode Muqârin
1) Membandingkan analitis redaksional (mabâhits
lafzhiyyah) dan perbandingan periwayat periwayat, kandungan makna
dari masing-masing hadits yang diperbandingkan.
2) Membahas perbandingan berbagai hal yang
dibicarakan oleh hadits tersebut.
3) Perbandingan pendapat para pensyarah
mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai
aspek, baik menyangkut kandungan (makna) hadits maupun
korelasi (munasabah) antara hadits dengan hadits.(20
Ciri utama metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadits
dengan hadits, dan pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadits.
c. Urutan Metode Muqârin
Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata),
urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan
redaksi misalnya, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
1) mengidentifikasi dan menghimpun hadits
yang redaksinya bermiripan,
2) memperbandingkan antara hadits yang
redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua
kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama,
3). menganalisa perbedaan yang terkandung
di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi
hadits maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya
dalam hadits, dan sebagainya,
4). memperbandingkan antara berbagai
pendapat para pensyarah tentang hadits yang dijadikan objek bahasan.21
d. Kelebihan dan Kekurangan
Kelebihan
1) Memberikan wawasan pemahaman yang
relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan denga metode lain.
2) Membuka pintu
untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh
berbeda.
3) Pemahaman
dengan metode muqârin sangat berguna bagi mereka yang ingin
mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadits.
4) Pensyarah didorong untuk mengkaji berbagai hadits
serta pendapatpendapat para pensyarah lainnya.
Kekurangan
1) Metode ini tidak relevan bagi pembaca
tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit
untuk menentukan pilihan.
2) Metode ini tidak dapat diandalkan untuk
menjawab permasalah sosial yang berkembang di tengah masyarakat, karena
pensyarah lebih mengedepankan perbandingan daripada pemecahan masalah
3) Metode ini terkesan lebih banyak
menelusuri pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan
pendapat baru (23.
4. Metode Syarh Maudhû’î (tematik)
a. Pengertian
Kata maudhû’i dinisbatkan
pada kata al-maudhû’ yang berarti
topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan. Secara semantik, syarh maudhû’î
menjelaskan hadits menurut tema atau topik tertentu dan
menyusunnya berdasarkan kronologi serta sebab wurudnya. Kemudian pensyarah
mulai memberikan keterangan dan penjelasan serta mengambil kesimpulan.[17]
Di antara kitab yang menggunakan metode syarh maudhû’ii ini adalah
adalah Bulûgh al-arâm, subul al-salâm, ibânat al-ahkâm, dan
al-lu`lu` wa al-marjân.
b. Ciri-ciri syarh Maudû’i
Ciri-cirinya adalah bahwa pensyarah menjelaskan hadits dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
1) Menentukan topik bahasan setelah
menentukan batasan- batasan dan mengetahui jangkauannya.
2) Menghimpun dan menetapkan hadits-hadits
yang menyangkut masalah tersebut.
3) Menyusun hadits-hadits tersebut secara
runtut menurut kronologi masa turunnya, disertai pengetahuan asbâb al-wurûd.
4) Menyusun tema pembahasan
dalam kerangka yang tepat, sistematis, sempurna, dan utuh
5) Melengkapi penjelasan dan uraian dengan
al-Qur`an yang berhubungan jika dipandang perlu, sehingga pembahasan
semakin jelas.
6) Mempelajari semua hadits yang terpilih
dengan jalan menghimpun hadits-hadits yang sama pengertiannya; mengkompromikan
antara yang umum dengan yang khusus; muthlaq muqayyad; atau yang kelihatan
kontradiktif, sehingga diharapkan dapat dicarikan titik temu dalam satu tujuan,
tanpa adanya perbedaan dan pemaksaan dalam pensyarahan hadits.
c. Kelebihan dan
Kekurangan Metode Maudhu’î
Kelebihan
1) Diprediksi mampu menjawab
tantangan zaman. Melalui metode ini, pemahaman tentang suatu
permasalahan dapat dipahami secara komprehensif, karena didukung oleh semua
hadits yang berhubungan.
2) Praktis dan sistematis. Model ini
dinilai praktis dan sistematis karena mudah untuk memahami suatu permasalahan
dan tersusun sesuai dengan tema-tema permasalahan tertentu.
3) Memunculkan sikap dinamis dalam
mensyarah hadits.
4) Menghasilkan pemahaman yang utuh
Kekurangan
1) Metode ini banyak melakukan pemenggalan
hadits
2) Membatasi pemahaman hadits, karena
hanya mengambil bagian-bagian tertentu saja dari hadits yang berhubungan
dengan yang dibahas.
Demikianlah beberapa metode syarh dalam memahami
hadits yang diadopsi dari metode memahami(tafsir) al-Qur`an. Untuk dapat
memahami hadits dengan tepat, kelengkapan ilmu bantu mutlak diperlukan. Berkaitan dengan ilmu bantu daIam
memahami hadits, Yusuf Al Qardawi memberikan beberapa pedoman, yaitu (24 :
1) Mengetahui
petunjuk Al Qur'an yang berkenaan dengan hadits tersebut
2) Menghimpun
hadits-hadits yang se-tema.
3) Menggabungkan dan mentarjihkan antar hadits-hadits yang
tampak bertentangan.
4) Mempertimbangkan latar belakang,
situasi dan kondisi hadits ketika diucapkan, diperbuat serta tujuaannya.
5) Mampu membedakan antara sasaran yang
berubah-ubah dengan sasaran yang tetap.
6) Mampu membedakan antara ungkapan yang
bermakna sebenarnya dan bersifat metafora.
7) n Mampu
membedakan antara hadits yang berkenaan dengan alam gaib (kasat mata) dengan
yang tembus pandang.
8) Mampu memastikan makna dan konotasi kata-kata
dalam hadits.
D. METODE KRITIK
HADITS
1. Tinjauan
Historis Kritik Hadits
Pada masa
Rasulullah saw; kritik atas hadits tidaklah begitu besar. Keberadaan Rasul di
tengah-tengah mereka sudah dianggap cukup untuk menjadi narasumber atas persoalan-persoalan
agama.Pada masa pemerintahan khulafa'urrāsyidīn, kritik hadits mulai terlihat mencuat.Terbukti dengan semakin
berhati-hatinya para sahabat dalam menerima hadits hal ini sebagaimana yang
terjadi dengan Abū Bakar saat ditanya tentang bagian warisan seorang
nenek.Begitu juga ‘Umar saat bertanya kepada Abū Musa al-‘Asy’ari tentang
keabsahan anjuran mengetuk pintu sebanyak tiga kali saat bertamu. Bahkan Alī
bin Abī Thālib tidak akan menerima hadits dari seseorang, sebelum ia bersumpah.
Hal ini mengindikasikan bahwa para sahabat begitu antusias untuk memelihara
sunnah Rasul.
Ketika
permulaan masa tabī’īn, geliat kritik hadits semakin besar.Hal ini disebabkan
munculnya fitnah yang menyebabkan perpecahan internal umat Islam.Kondisi ini
diperparah dengan merajalelanya para pemalsu hadits untuk mendukung golongan
tertentu.Iklim yang tidak sehat ini menuntut para kritikus hadits agar lebih
gencar dalam meneliti keadaan para perawi.Mereka lalu melakukan perjalanan
untuk mengumpulkan sejumlah riwayat, menyeleksi dan membandingkannya, hingga
akhirnya mampu memberikan penilaian atas setiap hadits.
Metode
kritik hadits terus berkembang pesat, ditandai dengan lahirnya beberapa karya
ulama tentang kritik sanad hadits.Kritikan tersebut ditulis dalam kitab
tersendiri dan memuat seluruh riwayat yang dimiliki oleh masing-masing perawi.
Hal ini dilakukan agar penilaan atas hadits benar-benar objektif sebagaimana
yang dilakukan Imam Ahmad dalam karyanya: Kitâbul ‘Ilal fi Ma’rifati’l Rijâl, atau: Musnad
al-Mu’allal” karya Ya’qub bin Syaibah.
Selanjutnya,
penulisan kritik hadits menjadi lebih sistematis dengan dilakukannya penelitian
atas sanad secara terpisah dari matan. Hal ini digagas oleh pakar kritik hadits
seperti Ibnu Abī Hatim dalam bukunya: al-Jarh wa Ta’dîl”, dan ’Ilal yang begitu detail dalam melacak keabsahan hadits dari aspek
matan dan perawinya. Setelah sejumlah peninggalan ulama tersebut ditelaah
kembAlī oleh para ulama mutaakhirîn seperti al-Mizzi, Dzahabī, Ibnu Hajar dan lainnya, mereka
kemudian meletakkan materi-materi kritikan dalam satu buku tersendiri tanpa
memuat sanadnya secara lengkap.Kemudian mereka mendiskusikan (munaqasyah) komentar-komentar ulama hadits, hingga dapat memberikan
penilaian akhir pada sebuah hadits.
2. Langkah-langkah Kegiatan Kritik Sanad Hadits
Fakta sejarah telah menyatakan bahwa hadis Nabi hanya
diriwayatkan dengan mengandalkan bahasa lisan/hafalan dari para perawarinya
selama kurun waktu yang panjang, hal ini memungkinkan terjadi kesalahan,
kealpaan dan bahkan penyimpangan.Berangkat dari peristiwa ini ada sebagaian
kaum muslimin bersedia mencari, mengumpulkan dan meneliti kualitas hadis, upaya
tersebut dilakukan hanya untuk menyakinkan bahwa hal itu benar-benar dari Nabi.
Sehubungan dengan hal itu, mereka akhirnya menyusun
kriteria-kriteria tertentu, sebagai langkah mereka mengadakan penelitian pada
sanad. Bagian-bagian penting dari sanad yang diteliti adalah; (1) nama perawi,
(2) lambang-lambang periwayatan hadis, misalnya; sami’tu, akhbarani, ‘an dan annă.. menambahkan hal itu menurut Bustamin, sanad harus mempunyai
ketersambungan, yaitu (1) perawi harus berkualitas siqat (‘adil
dan dhabit); (2) masing-masing perawi menggunakan kata penghubung adanya
pertemuan, diantaranya; sami’tu,
hadatsana, hadatsani, akhbirni, qala lana, dhakarani[18]
Pada umumnya para ulama dalam melakukan penelitian hanya
berkosentrasi pada dua pertanyaan; Pertama, apakah perawi tersebut layak dipercaya,
atau kedua, apakah perawi tersebut tidak pantas dipercaya[19].
3. Langkah-langkah Kegiatan Kritik Matn Hadits
Sebagai langkah selanjutnya untuk mengadakan
penelitian/kritik hadis pada bidang materi (matn) paling tidak
menggunakan kriteria sebagai berikut;
1) Ungkapanya tidak dangkal, sebab yang dangkal tidak pernah
diucapkan oleh orang yang mempunyai apresiasi sastra yang tinggi fasih.
2) Tidak menyalahi orang yang luas pandanganya/pikiranya, sebab
sekiranya menyalahi tidak mungkin ditakwil.
3) Tidak menyimpang dari kaedah umum dan akhlak.
4) Tidak menyalahi perasaan dan pengamatan.
5) Tidak menyalahi cendekiawan dalam bidang kedokteran dan
filsafat.
6) Tidak mengandung kekerdilan, sebab syariah jauh dari sifat
kerdil
7) Tidak bertentangan dengan akal sehubungan dengan pokok
kaidah, termasuk sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya.
8) Tidak bertentangan dengan sunnatullah mengenai alam semesta
dan kehidupan manusia.
9) Tidak mengandung sifat naif, sebab orang berakal tidak
pernah dihinggapinya.
10) Tidak
menyalahi al-Qur'an dan al-sunnah.
11) Tidak
bertentangan dengan sejarah yang diketahui umum mengenai zaman Nabi.
12) Tidak
menyerupai mazdhab rawi yang ingin benar sendiri.
13) Tidak
meriwayatkan suatu keadilan yang dapat disaksikan orang banyak, padahal riwayat
tersebut hanya disaksikan oleh seorang saja.
14) Tidak
menguraikan riwayat yang isinya menonjolkan kepentingan pribadi
15) Tidak
mengandung uraian yang isinya membesar-besarkan pahala dari perbuatan yang
minim dan tidak mengandung ancaman besar terhadap perbutan dosa kecil[20].
Lebih sederhana lagi kriteria ke-shahihan hadis adalah
sepeti yang dikemukakan oleh Al-Khatib Al-Baqdadi (w.463 H/1072 M) bahwa suatu
matn hadis dapat dinyatakan maqbûl(diterima) sebagai matn hadis yang
shahih apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut;
1) Tidak bertentangan dengan akal sehat
2) Tidak bertentangan dengan al-Qur'an yang telah muhkam
3) Tidak bertentangan dengan hadis mutawatir
4) Tidak bertentangan dengan amalan yang telah disepakati ulama
masa lalu
5) Tidak bertentanga dengan dalil yang telah pasti, dan
E. KESIMPULAN
1. Dalam metode pemahaman (syarh) hadits, para
ulama menggunakan empat metode, yaitu metode tahlîl (analitis),
metode ijmâlî (global), metode muqârin(perbandingan),
dan metode maudhû’ii. keempat metode itu mempunyai kelebihan maupun kelemahan
masing-masing. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, maka tak diragukan
lagi akan muncul metode maupun pendekatan baru untuk memahami hadits. Sebab,
hadits merupakan salah satu sumber pokok hukum Islam yang takkan lepas dari
kajian maupun penelitian.
2. Dari pembahasan tentang kritik hadits, ada beberapa hal yang
dapat diambil menjadi sebuah kesimpulan :
1) Dengan adanya
kritik hadits, diharapkan agar kita mengetahui dengan pasti otentisitas suatu
riwayat. Selain itu, kritik hadis juga bermanfaat untuk menguji validitasnya
dalam rangka menetapkan suatu riwayat. Sebuah kritik merupakan kerja
intelektual yang melibatkan cabang ilmu hadits (Ulûm al-Hadits). Kerja
intelektual ini dalam ilmu hadits masuk dalam konsep al-Jarh wa al-Ta’dil, suatu ilmu
untuk menilai diterima dan ditolaknya seorang sanad dan rawi hadits.
2) Untuk melakukan
kritik sanad hadits, langkah-langkah yang dilakukan adalah meneliti para perawi
dan metode periwayatannya.
3) Adapun dalam
kritik matan hadits, langkah-langkah yang dilakukan adalah Meneliti matan
dengan melihat kualitas sanadnya, Meneliti Susunan, Lafal Matan yang Semakna,
dan Meneliti Kandungan Matan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalâni, Fath al-Bari Shahih al-Bukhari. Tth. Beirut:
Dar al-Ma’rifah. Jilid
1.
Agil
Husain Munawwar, Said dan Mustaqim, Abdul. 2001. Asbabul Wurud.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ali,
Nizar. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan).
Yogyakarta: Center for Educational Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah.
2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi
Imam Nawawi dalam PenulisanSyarh} Hadis. Yogyakarta.
Al-Hay al-Farmawi, Abd. 1997. Al-Bidayah fi al-Tafsir
al-Maudu’i. ,t.tp: Matba’ah al-Hadarah al-‘Arabiyyah.
Baidan,
Nashrudin. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Bustamin. Metodologi Kritik hadis. Raja Grafindo. Jakarta. 2004
Endang Soetari, 2005, Ilmu Hadits: Kajian Riwayah dan
Dirayah, Bandung: mimbar Pustaka.
Hasan,
Fuad dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas Metodologi Ilmiah, dalam
Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode Penelitian Masyarakat.
Jakarta: Gramedia.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III.
Yunus, Mahmud. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.
al-Qardhawi,
Yusuf. 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan Bandung: Kharisma.
[1] Said
Agil Husain Munawwar dan Abdul Mustaqim. 2001. Asbabul Wurud.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar., hal. 24.
[2] Metode
ini diadopsi dari metode penafsiran Al-Qur’an dengan melihat karakter persamaan
yang terdapat antara penafsiran Al-Qur’an dan penafsiran atau syarh hadis.
Artinya metode penafsiran Al-Qur’an dapat diterapkan dalam syarh hadits dengan mengubah redaksi/kata Al-Qur’an menjadi hadis;
tafsir menjadi syarh}. (baca Nizar Ali. 2001. Memahami Hadis Nabi (Metode dan Pendekatan). Yogyakarta: Center for Educational
Studies and Development (CESaD) YPI Al-Rahmah., hal. 28.
Dalam studi tafsir telah dijumpai beberapa teori tentang tafsir Al-Qur’an dengan melihat metode dan corak penafsiran yang dipakai oleh
para ulama tafsir dalam kitab-kitab tafsir. Ada 4 (empat) metoden penafsiran,
yaitu: metode tafsir tah}lîlî (analitis), metode tafsir ijmâlî (global),
metode tafsirmuqrin (perbandingan)
dan metode tafsir maud}û’î (tematik). Ibid., hal. 28, atau baca Nashrudin Baidan. 2000. Metodologi Penafsiran Al-Qur’an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[4] Fuad Hasan dan Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Asas
Metodologi Ilmiah, dalam Koentjaraningrat (ed.), Metode-metode
Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia., hal. 16.
[5] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa KBBI. 2005. Kamus Besar
Bahasa Indonesia. jakarta: Balai Pustaka. Cetakan ketiga, edisi III., hal. 740.
[7] Mahmud
Yunus. 1973. Kamus Arab-Indonesia. Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Penafsir Al-Qur’an.,hal.
[9] Nizar
Ali. 2007. (Ringkasan Desertasi) Kontribusi
Imam Nawawi dalam Penulisan Syarh} Hadis.Yogyakarta., hal. 4.
[10] Nizar Ali.,op.cit., hal. 29 atau
baca Abd al-Hay al-Farmawi.1997. Al-Bidayah fi al-Tafsir al-Maudhu’i. ,t.tp: Matba’ah
al-Hadarah al-‘Arabiyyah., hal.24.
[17] Diadopsi dari metode tafsir maudhu’i, karya Abd
al-Hayy al-Farmawi, al-Bidayah fi …..op.cit.h.24
24Yusuf
al-Qardhawi, 1993. Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw. edisi terjemahan (Bandung: Kharisma), hlm. 92
Komentar
Posting Komentar