KITIK MATAN / Syarah Hadis/ III


KITIK MATAN


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Blakang

Tidak perlu diragukan bahwa hadis  merupakan sumber  ajaran Islam  di samping al-Qur’an. Mengingat begitu pentingnya hadis, maka studi atau kajian terhadap hadis akan terus dilakukan, bukan saja oleh  umat Islam, tetapi oleh siapapun yang  berkepentingan terhadapnya. Berbeda dengan ayat-ayat al-Qur’an yang  semuanya dapat diterima, hadis tidak semuanya dapat dijadikan sebagai  acuan atau hujah. Hadis ada   yang  dapat dipakai ada yang tidak. Di sinilah letak perlunya  meneliti hadis. Agar dapat meneliti hadis  secara baik diperlukan  antara lain pengetahuan tentang kaidah dan atau metodenya.
Atas dasar itulah, para ulama khususnya yang menekuni hadis telah berusaha merumuskan kaidah dan atau metode dalam  studi hadis. Buah dari pengabdian dan kerja keras mereka telah menghasilkan kaidah dan berbagai  metode yang sangat  bagus dalam studi hadis, terutama untuk meneliti para periwayat yang menjadi mata rantai dalam periwayatan hadis (sanad). Bahkan dapat dikatakan bahwa untuk studi sanad ini, secara metodologis sudah relatif mapan yang ditunjang dengan perangkat pendukungnya. Apalagi pada zaman sekarang, dengan memanfaatkan teknologi komputer, studi sanad hadis dapat dilakukan secara sangat efisien dan lebih akurat dengan kemampuan mengakses referensi yang jauh lebih banyak.
B. Rumusan masalah
1. Pengertian Kritik matan
2. Tinjauan Historis
3. langkah Kritik Matan
4. Contoh Kritik Mata
C. Tujuan
Untuk mengetahui apaitu kritik matan , tinjauan historis, langkah-langkah dan cotohnya.

BAB II
PEMBAHASAN


A. Pengertian Kritik Matan
Pegertian kata kritikadalahmasalahpenganalisaan dan pengevaluasiansesuatudengantujuanuntukmeningkatkanpemahaman, memperluasapresiasi, ataumembantumemperbaikipekerjaan. Sedangkan kata matan secaraetimologiadalahpunggungjalanataumukajalan, tanah yang tinggi dan keras. Secara terminology kata matan (matnulhadis) berartimateriberita yang berupasabda, perbuatanatautaqrir Nabi SAW yang terletaksetelah sanad yang terakhir. Secaraumum, matan dapatdiartikanselainsesuatupembicaraan yang berasal/ tentang Nabi, juga berasal/ tentangsahabatatauTabi’in[1]
       Yang disebut dengan matan hadits ialah pembicaraan (kalam) atau materi berita yang diover oleh beberapa sanad, baik pembicaraan itu berasal dari sabda Rasulullah saw., sahabat, ataupun tabi'in; baik isi pembicaraan itu tentang perbuatan Nabi maupun perbuatan sahabat yang tidak disanggah oleh Nabi.
B. Tinjauan Histori
       sesungguhnya kritik atau seleksi (matan) hadis  dalam arti upaya untuk membedakan antara yang benar dan yang salah telah ada dan dimulai pada masa Nabi masih hidup meskipun dalam bentuk yang sederhana. Praktik penyelidikan atau pembuktian untuk meneliti hadis Nabi pada masa itu  tercermin dari kegiatan para sahabat pergi menemui atau merujuk kepada Nabi untuk membuktikan apakah sesuatu benar-benar telah dikatakan oleh beliau. Praktik tersebut  antara lain  pernah dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka’ab, ‘Abdullah bin ‘Amr, ‘Umar bin Khattab, Zainab istri Ibn Mas’ud dan lain-lain. Setelah Nabi wafat (11 H=632 M), tradisi kritik  hadis dilanjutkan oleh para sahabat. Pada periode ini, tercatat sejumlah  sahabat perintis dalam bidang ini, yaitu Abu Bakar as-Siddiq (w. 13 H=634 M), yang diikuti oleh Umar bin Khattab (w. 234 H=644 M) dan Ali bin Abi Thalib (w. 40 H=661 M). Sahabat-sahabat lain yang dikenal pernah melakukan kritik hadis, misalnya ‘Aisyah (w. 58 H=678 M) istri Nabi, dan ‘Abd Allah bin  ‘Umar bin al-Khattab (w. 73 H=687 M)[2].

Pada periode pasca sahabat, mulai ditandai dengan penyebaran hadis yang semakin banyak dan meluas, dan  banyak  bermunculan (matan-matan)} hadis   palsu (maudu’).  Menanggapi keadaan seperti itu, bangkitlah para ulama untuk melakukan kritik atau seleksi guna menentukan hadis-hadis yang benar-benar berasal dari Nabi, dan yang tidak. Sementara itu, rangkaian para periwayat hadis yang “tersebar” menjadi lebih banyak dan panjang. Perhatian ulama untuk meneliti matan dan sanad hadis makin bertambah besar, karena jumlah periwayat  yang tidak dapat dipercaya riwayatnya semakin bertambah banyak.  Mereka pun merumuskan kaidah dan cara untuk melakukan kritik atau seleksi hadis.
        Misalnya saja, untuk menyeleksi antara hadis-hadis yang sahih dan yang maudu‘ para pakar hadis menetapkan ciri-ciri hadis maudu‘sebagai tolok ukurnya. Dalam hadis palsu, mreka menetapkan tanda-tanda  matan hadis  yang palsu, yaitu : 
(1) susunan bahasanya rancu,
(2) isinya bertentangan dengan  akal yang sehat dan sangat sulit diinterpretasikan secara rasional, (3) isinya bertentangan dengan  tujuan pokok ajaran Islam,
(4) isinya bertentangan dengan hukum alam (sunnatullah),
(5) isinya bertentangan dengan sejarah,
(6) isinya bertentangan  dengan petunjuk al-Qur’an atau hadis mutawatir yang telah mengandung petunjuk secara pasti ; dan
(7) isinya berada di luar kewajaran bila diukur dari petunjuk  ajaran Islam[3].
       Seiring dengan itu, perhatian para ulama dalam menyeleksi hadis banyak terporsir untuk meneliti orang-orang yang meriwayatkan hadis. Jadi, dapat dikatakan bahwa studi hadis mengalamai pergeseran; pada periode sahabat kritik hadis tertuju pada matannya, sedangkan periode sesudahnya cenderung lebih banyak mengkaji aspek sanadnya. Hal tersebut dapat dimaklumi karena tuntutan dan situsi zaman yang berbeda, pada periode sahabat Nabi belum  dikenal tradisi sanad, sedangkan pasca sahabat sanad dan seleksi sanad menjadi suatu keniscayaan dalam proses penerimaan dan penyampaian (tahammul wa al-ada) hadis.
       Sejak abad kedua sampai keenam Hijriah tercatat usaha para ulama yang  berusaha untuk merumuskan kaidah kesahihan hadis, sampai kemudian para ulama menetapkan  persyaratan hadis sahih, yaitu sanadnya bersambung (sampai kepada Nabi), diriwayatkan oleh para periwayat yang bersifat s\iqah   (adil dan dabit ) sampai akhir sanad, dan dalam (sanad) hadis itu tidak terdapat kejanggalan (syuzuz) dan cacat (‘illat).Kaidah kasahihan hadis tersebut dalam khazanah studi hadis atau ilmu-ilmu hadis (‘ulum al-hadis)  telah lama dikenal dan diaplikasikan, sampai-sampai menjadi mapan dan baku. Sayang, kaidah tersebut dalam praktiknya baru memadai untuk studi sanad, sedangkan untuk studi matan hadis  masih belum cukup. Hasil penelitian al-Adlabi menunjukkan bahwa kritik matan hadis yaang dilakukan  oleh para ulama hadis selama ini masih bergantung  pada kajian mereka terhadap hal ihwal kehidupan periwayat hadis.  Al-Adlabi juga menyimpulkan  bahwa contoh-contoh hadis yang mengandung syuzuz dan‘illat yang dikemukakan oleh al-Hakim dan al-Khatib al-Bagdadi, dua ulama hadis yang memperkenalkan kemungkinan adanya syuzuz dan ‘illat dalam matan hadis, belum memberikan perhatian terhadap kritik matan hadis.  Jadi, kriteria terhindar dari  syuzuz dan ‘illat dalam praktik biasanya diaplikasikan untuk kepentingan kritik atau penelitian sanad hadis, sedangkan untuk kritik matan sangat jarang dan sulit dilakukaan.
C. Langkah kritik Matan
a. Membandingkan  matan hadis dengan ayat al-Qur’an yang berkaitan.
      Teknik ini kerap kali dilakukan oleh sejumlah sahabat Nabi. Umar bin Khattab misalnya, ia  pernah  mempertanyakan dan kemudian  menolak hadis yang diriwayatkan oleh  Fatimah bin Qais yang menyatakan  bahwa wanita yang dicerai  tidak berhak menerima uang nafkah (dari mantan suaminya).  Menurut Umar (matan) hadis tersebut,  bila dibandingkan tidak sejalan dengan bunyi ayat al-Qur’an.  Demikian juga ‘Aisyah, dalam beberapa kasus ia pernah mengkritik sejumlah (matan) hadis yang disampaikan (diriwayatkan) oleh sahabat lainnya yang menurut pemahamannya tidak sejalan  dengan kandungan ayat al-Qur’an. Sebagai contoh  beliau mengkritik hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah, Ibnu ‘Abbas dan ibnu ‘Umar yang menyatakan bahwa orang yang  meninggal dunia  akan disiksa  karena ratapan tangis keluarganya.  Menurut ‘Aisyah hadis tersebut tidak sejalan dengan al-Qur’an.
b.Membandingkan (matan-matan)  hadis dalam dokumen tertulis dengan hadis-hadis yang disampaikan  dari hafalan.
       Dalam teknik ini apabila  ada perbedaan  antara versi  tulisan dengan versi lisan, para ulama  biasanya  lebih memilih versi tulisan daripada versi lisan, karena dianggap lebih kuat (ahfaz). Imam Bukhari (w. 256 H=870 M) misalnya, beliau pernah melakukan teknik ini pada saat menghadapi matan hadis   tentang mengangkat tangan ketika akan ruku dalam shalat, yang diriwayatkan oleh  Sufyan melalui Ibnu Mas’ud. Setelah membandingkannya, Bukhari memutuskan untuk memilih  hadis yang diriwayatkan oleh Yahya bin Adam  yang teleh mengeceknya dari kitab  ‘Abdullah bin Idris (dalam versi tulisan), dan pada matan tersebut tidak memuat redaksi yang mengundang perselisihan.
 c. Perbandingan antara  pernyataan dari seorang periwayat yang disampaikan pada waktu yang berlainan.
        Teknik perbandingan ini pernah dipraktikkan oleh ‘Aisyah salah seorang istri nabi. Aisyah pernah meminta keponakannya, yaitu ‘Urwah bin Zubair untuk menanyakan  sebuah hadis, yaitu tentang ilmu dan dihilangkannya ilmu dari dunia,  kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘As} (w. 65 H=685 M) yang tengah  menunaikan ibadah haji. ‘Abd Allah pun menyampaikan  hadis yang ditanyakan itu. Karena ‘Aisyah merasa tidak puas, tahun berikutnya, ia meminta Urwah kembali menemui ‘Abd Allah yang naik haji lagi dan menanyakan hadis yang telah ditanyakannya  setahun yang lalu.   Ternyata lafal hadis yang disampaikan oleh ‘Abd Allah sama persis dengan lafal yang disampaikannya setahun yang lalu.
       Hal yang serupa juga pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam (w. 65 H= 685 M) yang pada saat itu  sedang menjabat sebagai gubernur Madinah. Ia mengundang Abu Hurairah (w. 58 H=678 M)  untuk menyampaikan hadis  yang pernah disampaikan beberapa waktu sebelumnya dan dicatat oleh  Abu az-Zu’aizu’ah, sekretaris pribadi Marwan. Pada saat Abu Hurairah menyampaikan (kembali) hadis yang diminta Marwan langsung di hadapannya, Abu az- Zu’aizu’ah  mendengarkan dan mencocokkan dengan catatannya yang lalu secara sembunyi-sembuyi tanpa sepengetahuan Abu Hurairah, sebagaimana diinstruksikan oleh Marwan. Ternyata hadis yang disampaikan oleh Abu Hurairah saat itu sama persis, tidak ada sedikit pun kelebihan, kekurangan atau perbedaan, sebagaimana yang pernah disampaikannya beberapa waktu sebelumnya. 
d. Membandingkan hadis-hadis dari beberapa  murid yang mereka terima dari satu guru. 
       Teknik ini misalnya dipraktikkan  oleh (Yahya) Ibnu Ma’in (w.233 H=848 M) salah seorang ulama  kritikus hadis terkemuka. Ia pernah membandingkan  karya Hammad bin Salamah (w. 167 H=784 M) seorang kritikus terkenal dari Basrah, dengan cara  menemui dan mencermati tulisan delapan belas orang murid Hammad. Dari hasil perbandingan tersebut ternyata Ibnu Ma’in menemukan kesalahan-kesalahan baik yang dilakukan oleh Hammad maupun murid-muridnya. 
e. Melakukan rujuk silang antara satu periwayat dengan periwayat lainnya.
       Teknik ini pernah dilakukan oleh Marwan bin Hakam. Peristiwanya bermula tatkala Marwan menerima hadis yang disampaikan oleh ‘Abd ar-Rahman bin al-Mugirah bin Hisyam bin al-Mugirah yang bersumber dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah yang menyatakan bahwa Rasulullah  saw. Ketika waktu fajar (salat Subuh)  beliau dalam keadaan berhadas besar (karena pada malam harinya bersenggama dengan istri beliau). Kemudian beliau mandi  dan tetap berpuasa (pada hari itu). Mendengar hadis tersebut, Marwan segera menyuruh  ‘Abd ar-Rahman  menemui Abu Hurairah, karena Abu Hurairah pernah meriwayatkan  hadis yang menyatakan bahwa apabila sesorang pada  waktu Subuh masih dalam keadaan berhadas besar  karena padamalam harinya  bersenggama dengan istrinya, maka Nabi menyuruh orang tersebut membuka puasanya. ‘Abd ar-Rahman  menemui Abu Hurairah  di Zulhulaifah, dan menyampaikan kepadanya hadis yang diriwayatkan melalui Aisyah dan Ummu Salah (tersebut di atas). Pada saat itu Abu Hurairah menjelaskan bahwa ia menerima hadis tersebut tidak langsung dari Nabi, melainkan dari al-Fadl bin  ‘Abbas, sehingga menurut Abu Hurairah Fadl lah yang lebih mengetahui hadis tersebut.[4]
D.Contoh Kritik Matan
Contoh kritik matan hadis yang dilakukan pada masa sahabat:
Dari ‘Aisyah tatkala mendengar sebuah hadis yang disampaikan oleh Ibn Abbas dari Umar, Rasulullah SAW bersabda:
إن الميت ليعذب ببكاء أهله عليه
“ Mayat itu akan disiksa karena ditangisi keluarganya “[5].
Dengan serta merta Aisyah membantah hadits tersebut dengan berkata semoga Umar dirahmati Allah. Rasulullah tidak pernah bersabda demikian melainkan beliau bersabda:
إن الله يزيد الكافر عداباً ببكاء أهله عليه
“ Sesungguhnya Allah akan menambah siksa orang kafir karena ditangisi keluarganya”.
Hadits di atas menunjukkan bahwa kritik matan hadis sudah dimulai sejak masa sahabat. Aisyah telah mengkritik matan hadis yang didengar dari Ibn Abbas tersebut dengan cara membandingkan dan mengkonfirmasikan dengan hadis yang bertema sama yang pernah didengarnya sendiri dari Rasulullah dan juga nash al-Quran.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Hadis sebagai sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran,sangat penting untuk diteliti, baik dari sisi kritik sanad maupun matan.Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang berbeda namun tidak bisadipisahkan. Tolok ukur atau kriteria penelitian matan hadis, menjadisangat penting untuk ditetapkan di awal sebelum menentukanmetodologi atau pendekatan yang akan digunakan dalam penelitianmatan hadis


DAFTAR PUSTAKA


‘Azami, Muhammad Musthafa.Metodologi Kritik Hadis.Terj. A.Yamin. Jakarta: Pustaka Hidayah, 1992.
Ismail, M. Syuhudi. Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah. Jakarta: Bulan Bintang, 1988.


[1]M. Syuhudi Ismail, Pengantar Ilmu hadis,  (Bandung : Angkasa), 1991, h. 21
[2]Muhammad Musthafa Azami,  op.cith. 8.
[3]M. Syuhudi Ismail,. Metodologi Penelitian Hadis Nabi. (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 23
[4] M. Syuhudi Ismail,. Op.cit, h. 79.

[5]Shahih Al- Bukhari juz II, hlm: 79

Komentar

Postingan populer dari blog ini

TEORI-TEORI SOSIOLOGI AGAMA/SOSIOLOGI AGAMA/III

METODE TAHLILI (ANALIST) / Syarah Hadis/ III

HUBUNGAN FILOLOGI DENGAN ILMU-ILMU LAIN