PERKEMBANGAN FILOLOGI
PERKEMBANGAN FILOLOGI
A. Latar Belakang
Kebudayaan Yunani lama merupakan salah satu dasar pemikiran
yang sangat besar pengaruhnya dalam kehidupan masyarakat Barat pada umumnya.
Dalam segala bidang kehidupan, dirasakan unsur-unsur yang berakar pada
kebudayaan Yunani lama, yang aspek-aspeknya tersimpan dalam naskah-naskah milik
bangsa itu. Diantara cabang ilmu yang mampu membuka aspek-aspek tersebut adalah
filologi. Maka ilmu filologi Yunani lama merupakan ilmu yang penting untuk
menyajikan kebudayaan Yunani lama, yang hingga abad ini tetap berperan dalam
memperluas dan memperdalam pengetahuan mengenai sumber dari segala ilmu
pengetahuan. Kebudayaan Yunani lama tidak hanya berpengaruh di dunia Barat,
akan tetapi berpengaruh juga di bagian dunia yang lain, seperti kawasan Timur sampai Nusantara.
Semenjak kecil masyarakat Barat
dibiasakan dengan nama-nama dewa seperti Apollo, Pallas Athena, Zeus, Hera dan
lain-lain. Memang para dewa dan pahlawan dalam legenda Yunani kuno itu
merupakan sumber kehidupan bagi pikiran dan imajinasi orang Barat, seperti
Jawa. Para penulis Barat acap kali mengutip miologi Yunani kuno apabila mereka
memerlukan perumpamaan yang bisa lebih menjelaskan jalan pikiran mereka. Para
sarjana dan ilmuwan menggunakan peristilahan yang digunakan pada legenda Yunani
kuno, seperti “Oedipus-complex”. Dalam dunia ilmu pengetahuan, seperti ilmu
filsafat, matematika, fisika banyak dinukil pendapat para ilmuwan Yunani kuno
untuk lebih menjelaskan konsep mereka. Karena itu jelas sekali bahwa mereka
yang ingin mengetahui secara lebih mendalam aspek-aspek tertentu dari
masyarakat Barat. Ilmu filologi pun juga berakar pada kebudayaan Yunani kuno.
B. Perkembangan Filologi Di Eropa, Timur
Tengah Dan Nusantara
1.
Awal
Pertumbuhan Filologi Di Eropa Daratan
Filologi tumbuh dan berkembang di wilayah
pengaruh Yunani, tepatnya di kotaIskandariah yang terletak di benua Afrika
Utara. Darikota ini, filologi berkembang dan meluas ke Eropa daratan dan
dunialainnya.Awal kegiatan filologi di kota Iskandariah ( Mesir ) dilakukan
oleh bangsa Yunani pada abad ke-3 SM. Mereka berhasil membaca naskah Yunani
kuno yang ditulis dalam huruf Funisia. Naskah tersebut menggunakanbahan daun
papirus dengan cara merekam tradisi lisan yang merekamiliki sebelumnya.
Naskah-naskahtersebut disalin dan mengalami perubahan dari bentuk aslinya.
Pada abad yang sama ( ke-3 SM ) di
kota Iskandariah (Mesir) juga berdiri pusat ilmupengetahuan, di mana para ahli
banyak melakukan kegiatan studi naskah naskah lama. Aktivitas para ilmuwan itu
berpusat diperpustakaan yang menyimpan sejumlah besar naskah yang
berisiberbagai ilmu pengetahuan, seperti ilmu filsafat, kedokteran, sastra,
ilmu perbintangan, ilmu hukum, dan lain sebagainya. Bentuk naskahdengan papirus
yang tergulung ini ditulis pada satu sisi dengan benda, akibatnya agak sulit
untuk dilihat kembali bagian yang sudahdibaca karena penulisan naskah ini tidak
diberi nomor halaman.Perpustakaan itu bertempat dalam suatu bangunan yang
padawaktu itu dinamakan dengan “Museum”. Dan para peneliti ataupenggarap
naskah-naskah itu dikenal dengan sebutan Ahli filologi. Danorang pertama yang
memakai nama itu adalah Erastothenes.
Untuk memahami isi naskah seseorang
harus mengenal huruf,bahasa dan ilmu yang dikandungnya. Karena para ahli
filologi padawaktu itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat luas, maka
setelahmembaca dan memahami isinya mereka menulisnya kembali dalamhuruf dan
bahasa yang dapat dipahami rakyat kebanyakan, sehingga kebudayaan Yunani kuno
yang memiliki nilai luhur dikenal oleh masyarakat. Dalam upaya menggali
khazanah ilmu pengetahuan yangdikandung naskah-naskah itu, mereka menggunakan
suatu metode yangkemudian dikenal dengan nama alat Filologi. Metode ini pada
tahapawal mereka terapkan untuk memperbaiki huruf, bacaan, ejaan, bahasadan
tulisannya kemudian disalin dalam keadaan yang mudah dibaca danbersih dari
berbagai kesalahan. Para ahli filologi periode pertama inidikenal dengan
“Mazhab Iskandariah”. Karena awal timbul di kota tersebut.
Selain untuk tujuan penggalian ilmu
pengetahuan Yunani kuno menyatakan kegiatan filologi juga dimanfaatkan dalam
transaksi bisnis.Untuk kegiatan perdagangan semacam ini biasanya penyalin
naskahterkadang dilakukan oleh para budak belian, yang memang masa itumasih
banyak dan mudah didapat. Sebenarnya dari proses penyalinanseperti inilah besar
kemungkinan terjadinya penyimpangan-penyimpangandari bahan yang disalin. Hasil
penyalinan para budakbelian ini kemudian dipasarkan di sekitar Laut Tengah.
Sudah bisadibayangkan akibatnya
bahwa proses penyalinan yang berulang-ulangini terhadap naskah-naskah yang
menyimpang semakin banyak naskahyang jauh dari teks aslinya. Ini artinya bahwa
salin menyalin naskahdengan tulisan tangan mudah menimbulkan bacaan yang rusak,
karena :
a) Ada unsur kesengajaan
b) Penyalin kebetulan bukan ahli dalam ilmu
yang ada dalam naskah yang ditulisnya itu (ahli filologi).
c) Ada unsur keteledoran atau kelalaian
penyalin. Bahan-bahan yang ditelaah pada masa awal pertumbuhan danperkembangan
metode filologi, antara lain: karya sastra Homerus tulisan Plato, dan karya
sastra lain yang dipandang tinggi mutunya.
Setelah
Iskandariah jatuh di bawah pengaruh Romawi, kegiatanpenelitian filologi
berpindah ke Eropa Selatan yang berpusat di kotaRoma (Italia). Abad ke-1 M,
merupakan masa perkembangan tradisi Yunanidalam bentuk referensi terhadap naskah-naskah
tertentu.[1]
2.
Filologi
di Kawasan Timur Tengah
Sejak abad ke-4 M, beberapa kota di
Timur Tengah memilikiperguruan tinggi. Berbagai pusat studi ilmu pengetahuan
yang berasaldari Yunani, seperti: Ghaza sebagai pusat ilmu Oratori, Beirut
dalambidang hukum, Edessa dalam kebudayaan Yunani demikian pula diAntioch.
Pada abad ke-5 M, terjadi
perpecahan di kalangan kerajaan di kotaEdessa yang menyebabkan banyak para ahli
filologi pindah ke wilayah Persia. Mereka inilah yang mendorong perkembangan
kegiatan ilmiah diPersia yang berpusat di Yundi Syapur. Di lembaga ini banyak
dihasilkannaskah terjemahan Yunani ke dalam bahasa Syiria, yang
nantinyaberlanjut ke Bahasa Arab masa pengaruh Islam. Pada zaman dinasti
Abbasiyah yaitu periode pemerintahan Khalifah Al- Mansur, Harun al-Rasyid, dan
al Makmun studi naskah ilmupengetahuan Yunani makin berkembang, dan mengalami
puncakkejayaannya pada masa Khalifah al Makmun. Dalam istananyaberkumpul
sejumlah ilmuwan dari negara lain. Pada waktu itu dikenalada tiga penerjemah
kenamaan, yaitu: Qusta bin Lupa, Hunain bin Ishak,dan Al Hubaisyi, dimana
ketiganya beragama Nasrani.Di samping melakukan studi naskah Yunani, para ahli
filologi dikawasan Timur Tengah juga menerapkan teori filologi terhadap naskah-naskahyang
dihasilkan para penulis daerah setempat, yang terlihat darikumpulan naskah di
Bait al-Hikmah. Naskah-naskah itu mengandungnilai-nilai yang tinggi, seperti
karya tulis yang dihasilkan oleh bangsaArab dan Persia.
Sebagaimana diketahui, bahwa pra
Islam bangsa Arab sangat terkenal dengan karya-karya sastra prosa maupun syair
(puisi). Dapat disebutkan sebagai contoh ialah karya sastra syair (puisi)
yangmengandung unsur keindahan dan panjang yang dikenal dengan Muallaqot.
Qasidah-qasidah yang panjang dan bagus itu digantungpada dinding Ka’bah dengan
tujuan agar dibaca masyarakat Arab padahari-hari pasar dan keramaian lainnya.
Atas dasar inilah kenapa qasidah-qasidah itu disebut Muallaqat (yang
tergantung).
Setelah Islam tumbuh dan berkembang
di Spanyol hampir 700 tahun dari abad ke-8 M sampai abad ke-15 M. Zaman dinasti
BaniUmayyah memberi dimensi baru hubungan Timur dan Barat. Ilmupengetahuan
Yunani yang telah diterima bangsa Arab kemudian kembalike daratan Eropa dengan
epistimelogi Islam. Puncak kemajuan karyasastra Islam ini mengalami kejayaannya
pada periode DinastiAbbasiyyah. Karya tulis al Ghazali, Faiduddin al-Atta, dan
lain-lainyang bernuansa mistik berkembang maju di wilayah Persia dan
duniaIslam. Karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina dan yang lain menjadi buku rujukanwajib
mahasiswa dan merupakan lapangan penelitian yang menarikpelajar di Eropa.
Orientalis yang terkenal pada waktu itu adalah Albertus Maknus. Pada abad ke-13
M di pusat studi Montpillier dilakukanpenerjemahan karya filosof-filosof Muslim
ke dalam bahasa Latin.
Pada abad ke-17 Masehi studi teks
klasik Arab dan Persi di Eropasudah dipandang mantap. Selain naskah Arab dan
Persi, ditelaah pulanaskah Turki, Ibrani dan Syiria.Di penghujung abad ke-18
Masehi di Paris, Perancis banyakdidirikan pusat studi ketimuran oleh Silverter
de Sacy, di sana banyakdipelajari naskah-naskah dari Timur Tengah oleh para
ahli dari kawasanEropa. De Sacy dianggap sebagai bapak para orientalis Eropa
karenadari pusat studi Ecoledes Orientalis Vivantes yang ia dirikan itu
banyakmelahirkan orientalis Eropa yang menekuni pengkajian karya tuliskawasan
Timur Tengah. Para orientalis melangkahlebih mantap dalam mengkaji manuskrip
Arab sebelum bangsa Arabmengkajinya.[2]
3. Filolofi di Kawasan Nusantara
Kawasan Nusantara terbagi ke dalam banyak kelompok etnis
yangmasing-masing memiliki bentuk kebudayaannya yang khas.
a) Naskah Nusantara dan Para Pedagang Barat
Keinginan untuk mengkaji
naskah-naskah nusantara mulaitimbul seiring dengan kedatangan bangsa Barat pada
abad ke-16 M. Pertama kali yang mengetahui adanya naskah-naskah ituadalah para
pedagang yang datang ke Nusantara. Mereka menilai naskah-naskah tersebutsebagai
komoditi dagangan yang menguntungkan, seperti yangmereka ketahui di Eropa dan
sekitar Laut Tengah tentang jual belinaskah-naskah kuno. Salah seorang yang
dikenal bergerak dalambidang usaha perdagangan naskah-naskah klasik adalah
Peter Forosatau Piter William. Kolektor naskah-naskah nusantara dari
parapedagang adalah Edward Picocke, pemilik naskah Hikayat Sri Rama(tertua) dan
William Laud.Pelancong bangsa Belanda yang bernama Frederik de Hautman, (pandai
berbahasa Melayu), mengarang satu buku yangberjudul “Spraeck ende Woordboeck,
inde maleyscha endeMadagaskarsche Talen”, yang kemudian buku tersebut
diterjemahkan kedalam bahasa Latin, Inggris dan Perancis.Pada zaman VOC, usaha
mempelajari bahasa-bahasaNusantara terbatas pada bahasa Melayu, sebagai bahasa
komunikasidengan bangsa pribumi dan orang asing yang datang ke kawasan ini(
Nusantara ).Peranan para pedagang sebagai pengamat bahasa, melaluipembacaan
naskah-naskah dilanjutkan oleh para penginjil, yangdikirim VOC ke Nusantara
selama dua abad pertama.
b) Telaah Naskah Nusantara oleh Para
Penginjil
Pada tahun 1629 M (abad ke-16), di
kepulauan Nusantara terbit terjemahanAlkitab yang pertama dalam bahasa Melayu.
Nama penerbitnyaialah Jan Jacobsz Palestein dan penerjemahnya Albert
CorneliszRuil. Seorang penginjil terkenal yang menaruh minat yang cukupbesar
kepada naskah-naskah Melayu adalah Dr. MelchiorLeijdecker. Terjemahan Beibel
dari Leijdecker terbit setelah iameninggal, karena diperlukan penyempurnaan dan
revisi yangcukup. Ia menyusun terjemahan tersebut dalam bahasa Melayutinggi.
Terjemahan dilanjutkan oleh penginjil lain, yaitu Petrus Vanden Vorm, yang
menguasai bahasa Ibrani dan bahasa-bahasa Timurlainnya.
Francois Valentijn, salah seorang
pendeta dari Belanda yangdatang ke Indonesia menejermahkan Beibel dengan bahasa
Melayu.Dia banyak menulis tentang kebudayaan Nusantara, menyusunkamus dan buku
tata bahasa Melayu dan penginjil lain yang dikenalakrab dengan bahasa dan
kesusasteraan Melayu adalah G.H.Werndly. Dia menyusun daftar naskah Melayu
sebanyak 69 yang termuat dalam karangannya yang berjudul Malaische Spaakkunst,
yang lampirannya diberi nama“Maleische Boekzaal”.
Ketika VOC menjadi lemah dan berakibat
pada doronganuntuk mempelajari bahasa dan naskah Nusantara menjadi
berkurang.Kemudian usaha pengajaran dan penyebaran Alkitab dilanjutkanoleh
Zending dan Bijbelgenootschap.Pada tahun 1814 M lembaga ini mengirim seorang
penginjilProtestan bernama G. Bruckner ke Indonesia yang ditempatkan
diSemarang. Tugasnya ialah menyebarkan Alkitab pada masyarakatJawa. Di samping
menerjemahkan Alkitab dalam huruf Jawa, ia jugamenulis buku tata bahasa Jawa yang
di dalamnya terdapat teks danterjemahan bahasa Jawa.Sebuah lembaga bernama
Nederlandsche Bijbelgenootschapmenerbitkan tulisan Bruckner dan berpendapat
bahwa untukmenerjemahkan Alkitab dalam bahasa-bahasa Indonesia, seorang harus
memiliki bekal ilmiah yang cukup dalam bidang bahasa. Danlembaga ini menetapkan
kepada para penginjil (zending) penyiarpenerjemah yang dikirim ke Indonesia
harus memiliki pendidikansetingkat akademik.Pemerintah jajahan Belanda mendapat
dampak positif dariketetapan lembaga Nederlandsche Bijbelgenootschap (NBG)
karenapara penginjil dapat membantu pemerintah dalam mempelajaripalajaran
bahasa secara ilmiah kepada para pegawai sipil Belandayang memerlukannya. NBG
dikirim ke Indonesia antara lain ditugaskan mengajar dalam bidang bahasa Jawa
kepada pegawai sipilBelanda dan sudah barang tentu masih banyak lagi para
penginjilyang dikirim NBG ke Indonesia, yang umumnya tidak melakukantelaah
filologi terhadap naskah-naskah yang dibaca dan dipelajaribahasanya hanya
mereka sering menerjemahkan naskah-naskah ituke dalam bahasa asing, terutama ke
dalam bahasa Belanda. Kegiatan filologi terhadap naskah-naskah Nusantara
telahmendorong berbagai kegiatan ilmiah yang hasilnya bisadimanfaatkan pelbagai
disiplin ilmu, terutama disiplin ilmuhumaniora dan ilmu-ilmu sosial. Semua
kegiatan itu telah memenuhitujuan ilmu filologi, yaitu melalui telaah
naskah-naskah dapatmembuka kebudayaan bangsa dan mengangkat nilai-nilai luhur
yangdisimpan didalamnya.[3]
C. Sejarah Tahqiq Al-Nushus
Bidang
studi naskah dalam bahasa Arab dengan tahqiq al-nushusseperti bidang
studi lainnya. Penelitian naskah Arab, jugatelah lama dimulai, terlebih pada
zaman khalifah Abubakar As- Siddiq, ketika Nash Al-Quran mulai dikumpulkan
dalam satu mushaf, Hal ini memerlukan ketelitian untuk menyalin
teks-teks Al-Quran kedalam mushaf itu. Pengumpulan ayat-ayat Al-Quran
yang tertulispada tulang-tulang, batu-batu, kulit binatang, daun-daun pohon
yangagak lebar, dan sebagainya. Semuanya disalin ke dalam satu mushaf yang menggunakan kertas, seperti halnya Mushaf
Al-Quran.Timbul dan berkembangnya materi ini sebenarnya tidakberbeda dengan
bidang ilmu-ilmu lain.
Bidang
tahqiq al-nushusini dimulai dengan berbagai tahapan dan akhirnyamenjadi
suatu bidang studi yang mempunyai metode-metode, dansaling membantu dengan
ilmu-ilmu lainnya. Misalnya, tahapan-tahapantersebut sebagai berikut:
a) Dimulai sebagai “pekerjaan” untuk
mencari nafkah, kemudianberkembang menjadi “tugas” untuk memelihara peninggalan
lama.
b) Pengalaman-pengalaman yang dihadapi oleh
penyalin teks,menjadi suatu ilmu yang mempunyai kaidah-kaidah, cara kerja,dan
metode-metode tersendiri.
c) Para sarjana yang berkecimpung di bidang
studi naskah danmentahqiq teks klasik menjadi giat dalam bidang
penghidupankembali naskah-naskah lama,dalam rangka memperkenalkanapa yang
dinamakan “warisan budaya bangsa” danmemperkenalkan warisan rohani bangsa yang
tersimpan dalamteks-teks klasik itu kepada masyarakat banyak agar diketahuidan
dihargai sebagai warisan nenek moyang yang sangatberharga itu.
Dengan
demikian, masuklah bidang editing teks klasik atautahqiq al-nushusdalam
program studi di berbagai universitasdi dunia.Pada mulanya, pekerjaan mentahqiq
atau mengedit naskahyang kemudian akan menggunakan metode filologi tidak
melebihipenerbitan biasa, berdasarkan suatu naskah tanpa mengadakanpenjernihan
apapun. Lama-kelamaan dengan perkembangan ilmusastra Eropa, berkembang pula
cara bekerja ahli filologi itu,sehingga mereka mengadakan langkah-langkah
berikut ini, dalammenangani sebuah teks:
a) Mengadakan penerbitan biasa berdasarkan
suatu teks / naskah,tanpa mengadakan perbaikan apapun dalam teks itu. Jadi
teksdireproduksi sebagaimana adanya. Dengan perkembangannyailmu-ilmu sastra di
Eropa, berkembang pula cara bekerja ahlifilologi.
b) Mereka mulai mengadakan perbandingan
teks dan kritik teks.Kritik teks bertujuan untuk menjernihkan dari
kesalahanpenulisan dan mengembalikan teks kepada bentuknya yangpaling mendekati
teks asli. Point pertama, masih merupakanpekerjaan untuk mencari uang, yaitu
sumber kehidupan.Pekerjaan itu dilakukan dengan menggunakan pengalaman-pengalamanyang
lalu ketika mereka menangani teks dengansatu naskah, yang biasanya disebut
dengan naskah tunggal, namun pada perkembangan berikutnya, pada permulaan
abadke-19, telah berkembang dari pekerjaan rutin kepada peletakandasar berbagai
pendekatan untuk filologi, sehingga padaakhirnya, bidang ini menjadi suatu ilmu
yang diberi nama ‘IlmIhya’ al-Turath atau ‘ Ilm al-Nushus.
c) Munculnya berbagai karangan yang
meletakkan dasar ilmutersebut seperti metode kritik teks. Buku pertama yang
dimulaidibidang ini adalah karya P. Collomp La Critique de Texts,Paris, 1931.
Pada abad ke-15 setelah ada seni cetak, bukupertama berbahasa Arab yang dicetak
adalah sebuah buku yang diedit di kota Vano, Italia pada tahun 1514 M/920 H.
Ketikaitu belum ada percetakan di negara-negara Arab, selain itu. Di
kotaBundukiyyah di Italia juga keluar catatan pertama Al-Quran padatahun 1530
M, dan itu merupakan teks Al-Quran cetakan pertamakali. Sesungguhnya pekerjaan
tahqiq seperti ini, telah lamasebelumnya dikerjakan di Eropa, sejak abad ke-12
M, ketikapenelitian teks terjemahan makna Alquran ke dalam bahasaLatin, dengan
pengarahan dari pendeta Petrus Venis, di Spanyol.Di spanyol pula telah
diterbitkan Kamus Arab-Latin pertama.[4]
D. Tahqiqun an-Nushus
Dalam
bahasa Arab, Filologi adalah ilmu tahqiq al-nushus. Al-Zamakhshariy,
misalnya, menyebutkan dalam kitab “Asasus al-Balaghah” dengan
mengungkapkan sebagai berikut: ” tahqiq al-nushus sebuah teks atau nash
adalah melihat sejauhmana hakekat yang sesungguhnya sehingga bisa
diyakinikebenarannnya. Tahqiq berita adalah melacak kebenarannya.
Apabilasekelompok orang mendapat berita yang mereka tidak meyakininyamaka
seorang dari mereka berkata kepada mereka : Saya akanmentahqiq berita itu untuk
kalian semua, yakni saya akan melacaknyakemudian memberitahukan kepada kalian
hakekat yang sebenarnya”.
Oleh sebab itu, sebagian ahli
Filologi yang mengadakan tahqiq al-nushus pada suatu teks tidak
menyebutkan dirinya muhaqqiq, yang mentahqiq teks. Mereka cenderung
memakai kata صححه yang berarti telah
diperiksa atau dikoreksi .قرأه
telah
dibaca oleh,قارنartinya
telah diperbandingkan dengan naskah aslinya. Sekarang ini istilah yang paling
populer dan umum dipakai di kalangan para ahli tahqiq adalah kata haqqaqahu atau
tahqiq Fulan yang berarti diteliti oleh Fulan. Orang yang melakukan
tahqiq disebut muhaqqiq.
Tahqiq
al-nushus adalah penelitian yang cermat terhadap
suatu karya yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
a) Apakah benar karya yang diteliti /
ditahqiq merupakan karangan asli pengarangnya yang disebut pada buku ini.
b) Apakah isinya benar-benar sesuai mazhab
pengarangnya.
c) Sejauhmana tingkat kebenaran
materinya.
d) Mentahqiq dan mentakhrij semua ayat-ayat
Alquran dan Sunnah serta menyebut sumbernya dalam catatan kaki.
e) Memberi penjelasan tentang hal-hal yang
kurang jelas, seperti nama orang, tanggal yang diragukan, kejadian-kejadian dan
sebagainya.
Dengan
demikian, tahqiq al-nushus merupakan usaha keras untuk menampilkan karya
klasik itu dalam bentuk yang baru dan mudah dipahami. Para ulama terdahulu
memainkan peranan penting dalam memelihara peninggalan berupa karya-karya besar
yang sangat berarti bagi umat Islam, yaitu mulai dari pengumpulan nash-nash
Al-Quran, Sunnah Nabi SAW, dan karangan para ulama terdahulu dalam berbagai
ilmu keislaman. Ketelitian dalam menelusuri dan mengumpulkan nash-nash Al-Quran
yang tertulis di atas berbagai materi pada tahap awal Islam sampai dapat
terkumpul pada mushaf Usman ra. adalah bukti pertama atas ketelitian itu.
Meskipun Al-Quran telah dijamin oleh Allah SWT akan dipelihara.
Dengan ketelitian dalam
menelusuri dan mengkodifikasi Al-Quran sesuai dengan bunyi aslinya maka
Al-Quran sampai kepada kita sekarang dalam keadaan sempurna. Berkat ketelitian
itu pula dapat diketahui perubahan-perubahan yang dilakukan oleh oknum-oknum
yang berusaha mengacaukan kitab suci Alquran, pada setiap zaman. Hal yang sama
terjadi pula dalam pengumpulan hadis Rasulullah SAW. Para ulama meneliti dan
mencari hadis-hadis di pelosok kerajaan Islam. Mereka sangat berhati-hati dalam
mencari suatu periwayatan, yang mencakup dua sisi: Perawi atau orang yang
meriwayatkan isi hadis yang dalam istilah ilmu hadis disebut sanad dan teks
hadis itu sendiri yang disebut matan atau nash. Ketelitian para
ulama di zaman Khulafaur Rasyidin dan Bani Umayyah, telah berhasil meletakkan
dasar metodologis dalam menghimpun dan mencatat sunnah Nabi melalui riwayat
secara lisan sehingga pada masa yang relatif pendek dapat meletakkan dasar ilmu
hadis. Misalnya mereka harus menemui dan menerima teks dari perawinya sendiri,
dan tidak mengambil dari catatan atau dari buku melainkan harus mendengar
secara langsung. Mereka telah meletakkan dasar dan mengklasifikasikan tingkatan
para perawi itu sesuai dengan tingkatnya, misalnya terpercaya, hafalan kurang dipercaya, lemah, kurang teliti dan
sebagainya Semua itu untuk menjaga keafsahan teks atau matan hadis
tersebut.
Selain Al-Quran dan as-Sunnah, tahqiq
al-nushus
digunakan dalam penyusunan buku-buku sumber dalam segala bidang, seperti
tafsir, yang menggunakan riwayat, sehingga dinamakan tafsir bi al- ma’tsur,
juga dibidang fiqih dan akidah. Melalui tahqiq
al-nushus
dan penerbitan-penerbitan awal yang
sangat teliti ilmu-ilmu itu telah sampai dengan sempurna kepada kita sekarang
ini.
Selain dari pada ilmu-ilmu agama,
tahqiq juga menyelamatkan warisan kesasteraan dari zaman pra Islam, seperti di
jazirah Arab. Syair-syair zaman jahiliyah, ilmu ansab atau silsilah keturunan
yang terkenal dihafal dan disampaikan dengan lisan secara turun temurun. Mereka
mengetahui siapa penyair yang pernah mengucapkan walaupun satu bait. Demikian
pula halnya dalam ilmu bahasa. Sebagai contoh upaya mentahqiq kitab Mu’jam
al-‘Ayn, karya al-Khalil bin Ahmad. Buku itu mendapat perhatian dan
diteliti secara mendalam oleh para ulama bahasa Arab melalui penelitian
terhadap materi buku, meneliti perawinya, tanggal penulisannya, dan masa hidup
para guru al-Khalil, dan tempat pertama diluncurkan buku Mu’jam al-’Ayn,
semua itu dilakukan untuk meyakini kebenaran nisbah buku itu kepada al-Khalil
bin Ahmad. Di antara mereka yang berupaya keras dalam mentahqiq buku itu adalah
imam al-Zubaydi al-Andalusi (wafat tahun 379 H.)
Adapun tempat munculnya pertama
kali ternyata di Khurasan, bukan di Basrah tempat tinggalnya imam al-Khalil.
Mengenai zamannya ternyata jauh setelah wafatnya imam al-Khalil. Kitab itu
keluar pada pertengahan abad ke-3 H, berarti 80 tahun setelah wafatnya imam
al-Khalil. Melalui penelitian dan tahqiq yang cermat, ternyata buku itu
mengandung banyak riwayat yang berasal dari al-Asmu’i, dan Ibn al- ‘Arabi,
Sedangkan keduanya termasuk dalam generasi sepeninggal imam al-Khalil, sehingga
tidak mungkin bila imam al-Khalil mengambil riwayat dari mereka.
Meskipun demikian, hasil
penelitian terhadap Mu’jam al-‘Ayn menjauhkan untuk menisbahkan kitab itu pada
imam al-Khalil, namun dari segi metode ternyata sesuai dengan metode yang
digunakan oleh imam al- Khalil dalam menelusuri wazan-wazan syiir Arab.
Ini merupakan salah satu contoh tahqiq
al-nushus
atau penelitian Filologi yang dilakukan terhadap suatu karya agung, yaitu
Mu’jam al-‘Ayn, dan akhirnya setelah jelas semuanya dan dapat dijernihkan dari
hal-hal yang diragukan, maka dapat diterbitkan disertai segala penjelasan yang
merupakan upaya ulama muhaqqiqin, dan itu merupakan upaya ahli Filologi.
E.
KESIMPULAN
1.
Filologi itu mulai ada di daerah eropa pada abad 3 SM.
2.
Berpusat di Mesir di daerah Timur Tengah.
3.
Sampai berkembang di Nusantara.
4.
Hal ini bisa di simpulkan filologi di Eropa, di Timur Tengah, dan
Nusantara
5.
Tahqiqun nushus itu sangan penting, untuk mengetahui manuskrip yang
asli dari seorang pengarang.
DAFTAR
PUSTAKA
Baried, S. B. (1985). Pengantar
Teori Filologi . Jakarta Timur: Pusat Pembinaan dan Perkembangan.
Suryani, E. (2012). Filologi. Bogor:
Ghalia Indonesia .
[1]
Elis Suryani, Filologi, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2012), 23-29
[2]
Siti Baroroh Baried, Pengantar Teori Filologi, (Jakarta Timur :Pusat
Pembinaan dan Pengambangan, 1985), 30
[3]
Ibid,,53
[4]
Jurnal Ahmad Zaidun, UIN Sunan Ampel Surabaya
Komentar
Posting Komentar